Mispersepsi tentang Islam: Menyikapi Pernyataan Kontroversial dari Wakil Perdana Menteri Swedia

Oleh ;
Yayasan Pendidikan Indonesia
Special consultative status in ECOSOC
United Nations
Pendahuluan.
Pernyataan kontroversial Wakil Perdana Menteri Swedia yang menyatakan bahwa “Islam harus menyesuaikan diri dengan nilai-nilai Swedia” dan “Muslim yang tidak berintegrasi harus meninggalkan negara ini” telah memicu gelombang reaksi di seluruh dunia. Dengan menyebut isu-isu sensitif seperti pembunuhan demi kehormatan, pemenggalan, perajaman wanita, dan hukum Syariah sebagai praktik yang tidak memiliki tempat di Swedia, pernyataan ini memperlihatkan adanya kesalahpahaman mendalam tentang Islam. Artikel ini bertujuan untuk mengklarifikasi mispersepsi tersebut, mengeksplorasi dampaknya terhadap persepsi publik, dan mengusulkan langkah-langkah untuk membangun pemahaman yang lebih baik.
Swedia, sebagai salah satu negara Nordik yang dikenal dengan masyarakatnya yang terbuka dan multikultural, telah menjadi tujuan bagi banyak imigran, termasuk komunitas Muslim. Integrasi Islam di Swedia mencerminkan dinamika antara menjaga identitas keagamaan dan beradaptasi dengan nilai-nilai sekuler serta egalitarian masyarakat Swedia. Sejak gelombang imigrasi besar-besaran pada akhir abad ke-20, komunitas Muslim di Swedia, yang sebagian besar berasal dari Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan, telah berkontribusi pada keragaman budaya, namun juga menghadapi tantangan seperti diskriminasi, stereotip, dan perbedaan nilai budaya. Upaya integrasi melibatkan dialog antaragama, kebijakan inklusif, serta inisiatif komunitas untuk membangun kohesi sosial, meskipun isu-isu seperti polarisasi dan ketegangan sosial masih menjadi perhatian.
Pernyataan kontroversial Wakil Perdana Menteri Swedia, Ebba Busch, yang menyatakan bahwa “Islam harus beradaptasi dengan nilai-nilai Swedia atau Muslim yang tidak berintegrasi harus meninggalkan negara ini,” menjadi bukti nyata betapa kentalnya Islamofobia yang masih meresap di Eropa. Pernyataan ini, yang disampaikan dalam sebuah acara politik pada September 2024 dan terus bergema hingga 2025, memicu perdebatan nasional sengit, di mana pendukungnya melihatnya sebagai upaya mempertahankan identitas nasional, sementara kritikus menuduhnya memperburuk xenofobia dan stigmatisasi komunitas Muslim.
Dalam konteks Eropa yang lebih luas, di mana insiden Islamofobia meningkat—seperti pembakaran Al-Qur’an di Swedia yang memicu protes internasional dan kekhawatiran tentang terorisme—pernyataan Busch menyoroti bagaimana narasi anti-imigran sering kali menyamarkan prasangka struktural terhadap Muslim, yang tercermin dalam diskriminasi di pasar kerja, media, dan kebijakan keamanan. Hal ini tidak hanya mengancam kohesi sosial di Swedia, tetapi juga memperkuat pola Islamofobia di seluruh benua, di mana survei Diversity Barometer sejak 2005 menunjukkan sikap negatif terhadap Muslim yang tertanam dalam rasisme struktural.
Kesalahpahaman tentang Islam dan Hukum Syariah.
Pernyataan tersebut menggambarkan hukum Syariah sebagai sesuatu yang identik dengan praktik-praktik ekstrem seperti perajaman atau pembunuhan demi kehormatan. Padahal, hukum Syariah adalah sistem hukum yang mencakup aspek luas kehidupan umat Islam, mulai dari ibadah, etika, hingga interaksi sosial (muamalah). Penerapan Syariah sangat bergantung pada konteks budaya dan interpretasi lokal, dan praktik-praktik ekstrem yang disebutkan sering kali bukanlah bagian dari ajaran Islam, melainkan tradisi budaya yang keliru dikaitkan dengan agama.
Sebagai contoh, pembunuhan demi kehormatan lebih berkaitan dengan tradisi patriarkal di beberapa komunitas daripada ajaran Islam. Al-Qur’an justru menegaskan pentingnya menjaga kehidupan, seperti dalam Surah Al-Maidah ayat 32: “Barang siapa membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain atau membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia.” Hukuman seperti perajaman juga bukan praktik universal dalam Islam, melainkan terikat pada interpretasi hukum yang sangat spesifik dan jarang diterapkan di negara-negara Muslim modern. Generalisasi seperti ini mencerminkan kurangnya pemahaman tentang keragaman dalam Islam.
Integrasi dan Identitas Muslim di Dunia Barat.
Anggapan bahwa Islam bertentangan dengan nilai-nilai Barat, seperti demokrasi, kesetaraan gender, dan kebebasan individu, adalah stereotip yang tidak sepenuhnya benar. Banyak Muslim di negara-negara Barat, termasuk Swedia, telah menunjukkan kemampuan untuk berintegrasi tanpa kehilangan identitas keagamaan mereka. Mereka berkontribusi dalam berbagai sektor, seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, sambil tetap mempraktikkan ajaran Islam yang sesuai dengan konteks lokal.
Integrasi bukan berarti asimilasi total atau meninggalkan identitas agama. Sebaliknya, ini tentang hidup berdampingan dengan menghormati hukum dan nilai-nilai setempat sambil mempertahankan keyakinan pribadi. Di Swedia, banyak Muslim telah mengadopsi gaya hidup yang selaras dengan nilai-nilai lokal, seperti menghormati kesetaraan gender dan kebebasan berekspresi, tanpa mengorbankan prinsip keimanan mereka.
Tokoh-Tokoh Swedia Beragama Islam yang Terkenal.
Sesungguhnya Swedia memiliki komunitas Muslim yang berkembang pesat sejak abad ke-20, terutama melalui imigrasi dari negara-negara seperti Lebanon, Somalia, Turki, dan Suriah. Meskipun Islam bukan agama mayoritas, ada beberapa tokoh Swedia (baik keturunan imigran maupun konversi) yang menonjol di bidang seni, politik, olahraga, dan budaya. Berikut adalah beberapa tokoh terkenal yang beragama Islam, berdasarkan catatan sejarah dan kontemporer:
- Maher Zain (Lahir 1981)
- Profesi: Penyanyi, penulis lagu, dan produser musik R&B.
- Latar Belakang: Lahir di Lebanon, pindah ke Swedia sebagai anak-anak. Ia menjadi terkenal secara global dengan lagu-lagu bertema Islam seperti “Insha Allah” dan “Ya Nabi”. Album pertamanya, Thank You Allah (2010), terjual jutaan kopi dan memenangkan penghargaan di Timur Tengah. Zain adalah ikon bagi generasi muda Muslim di Swedia dan dunia.
- Loreen (Lorine Zineb Nora Talhaoui) (Lahir 1983)
- Profesi: Penyanyi dan penulis lagu.
- Latar Belakang: Keturunan Aljazair-Maroko, lahir dan besar di Swedia. Ia memenangkan Eurovision Song Contest dua kali (2012 dengan “Euphoria” dan 2023 dengan “Tattoo”), menjadikannya penyanyi Swedia paling sukses di kompetisi tersebut. Meskipun lebih dikenal sebagai artis pop, ia secara terbuka mengidentifikasi diri sebagai Muslim dan sering berbicara tentang akar budayanya.
- Nalin Pekgul (Lahir 1967)
- Profesi: Politisi Partai Sosial Demokrat.
- Latar Belakang: Keturunan Kurdi-Turki, ia adalah wanita Muslim pertama yang terpilih ke Parlemen Swedia (Riksdag) pada 1994. Ia menjabat sebagai anggota parlemen hingga 2010 dan aktif dalam isu hak perempuan serta integrasi imigran. Pekgul juga dikenal sebagai perawat dan penulis.
- Rami Shaaban (Lahir 1975)
- Profesi: Mantan pemain sepak bola profesional.
- Latar Belakang: Keturunan Mesir-Finlandia, bermain untuk klub-klub seperti Arsenal (Inggris), Tottenham Hotspur, dan tim nasional Swedia. Ia terkenal dengan gaya bermainnya yang eksentrik dan menjadi simbol keragaman di sepak bola Swedia. Shaaban juga terlibat dalam kegiatan amal untuk komunitas Muslim.
- Ivan Aguéli (Abdul-Hadi al-Maghribi) (1869–1917)
- Profesi: Pelukis dan filsuf Sufi.
- Latar Belakang: Orang Swedia pertama yang dikenal memeluk Islam (1909) setelah bepergian ke Mesir. Ia memperkenalkan Sufisme ke filsuf Prancis René Guénon dan dikenal sebagai pelopor seni modern di Swedia. Aguéli adalah tokoh historis yang menginspirasi konversi Islam di kalangan intelektual Eropa.
Tokoh Lain yang Layak Disebut:
- Yasin (Yasin Abu Bakr): Rapper Swedia-Somali yang mendominasi chart musik Swedia pada 2023, sering menyentuh tema pengalaman Muslim di pinggiran kota Stockholm.
- Tage Lindbom: Sejarawan dan konversi Islam terkenal di Swedia, pengaruh besar dalam studi Sufisme.
- Ebrahim Umerkajeff (1877–1954): Pedagang Tatar, Muslim pertama yang menjadi warga negara Swedia (1919) dan pendiri komunitas Muslim awal di Stockholm.
Daftar tersebut tidak lengkap, karena banyak Muslim Swedia yang berkontribusi secara signifikan tetapi kurang terdokumentasi secara luas. Komunitas Muslim Swedia (diperkirakan 5–8% populasi) semakin berpengaruh di bidang musik hip-hop, politik, dan seni, meskipun menghadapi tantangan integrasi.
Dampak Pernyataan Kontroversial.
Pernyataan pejabat Swedia ini berpotensi memperkuat stereotip negatif dan memicu Islamofobia. Ketika tokoh publik menggeneralisasi umat Islam sebagai kelompok yang tidak dapat berintegrasi atau terkait dengan praktik ekstrem, hal ini dapat meningkatkan diskriminasi dan ketegangan sosial. Menurut data dari European Union Agency for Fundamental Rights, diskriminasi terhadap Muslim di Eropa meningkat dalam beberapa tahun terakhir, sering kali dipicu oleh narasi politik yang menstigmatisasi Islam.
Selain itu, pernyataan semacam ini menghambat dialog antar budaya. Islam, seperti agama besar lainnya, memiliki keragaman interpretasi dan praktik. Menyamaratakan semua Muslim sebagai pendukung hukum Syariah dalam bentuk ekstrem adalah ketidakadilan intelektual yang melemahkan upaya membangun masyarakat yang inklusif.
Membangun Pemahaman yang Lebih Baik.
Untuk mengatasi mispersepsi tentang Islam, diperlukan langkah-langkah konkret dari berbagai pihak. Berikut beberapa rekomendasi:
- Edukasi tentang Islam yang Akurat; Media dan institusi pendidikan harus berperan menyebarkan informasi yang benar tentang ajaran Islam, menjelaskan bahwa praktik-praktik ekstrem bukanlah representasi mayoritas umat Islam.
- Dialog Antaragama ; Forum diskusi yang melibatkan berbagai komunitas agama dapat mengurangi stereotip dan membangun saling pengertian.
- Peran Komunitas Muslim ; Komunitas Muslim di Barat perlu lebih aktif menunjukkan kontribusi positif mereka, misalnya melalui kegiatan sosial atau kolaborasi lintas budaya.
- Kebijakan Inklusif; Pemerintah harus mendukung kebijakan yang mempromosikan integrasi tanpa memaksa asimilasi, sehingga minoritas Muslim merasa diterima tanpa kehilangan identitas mereka.
Kesimpulan.
Pernyataan kontroversial Wakil Perdana Menteri Swedia mencerminkan mispersepsi yang masih melekat di kalangan sebagian masyarakat tentang Islam. Dengan memahami bahwa Islam adalah agama yang beragam dan tidak identik dengan praktik-praktik ekstrem, kita dapat membangun masyarakat yang lebih inklusif dan harmonis. Dialog, edukasi, dan penghormatan terhadap perbedaan adalah kunci untuk mengatasi kesalahpahaman.
Islam, seperti agama lainnya, memiliki nilai-nilai universal seperti kasih sayang, keadilan, dan perdamaian, yang sejalan dengan cita-cita masyarakat modern. Mari bersama-sama menyingkirkan stereotip dan membuka ruang untuk diskusi yang konstruktif demi masa depan yang lebih toleran dan saling memahami.