Serangan Israel ke Iran dan Qatar: Respons Militer vs Diplomasi

Oleh :
MYR Agung Sidayu
Chairman of yayasan Pendidikan Indonesia
Special consultative status in ECOSOC
United Nations.
Pendahuluan.
Dalam dinamika geopolitik Timur Tengah yang semakin memanas, dua insiden serangan Israel baru-baru ini menyoroti perbedaan strategi respons dari negara-negara yang menjadi sasaran. Pada Juni 2025, Israel melancarkan serangan besar-besaran terhadap fasilitas nuklir dan militer Iran, memicu perang singkat yang dijawab Teheran dengan serangan balasan rudal dan drone secara langsung. 
Sementara itu, pada 9 September 2025, serangan udara Israel di Doha, Qatar, menargetkan pemimpin Hamas, yang memicu kecaman internasional dan respons diplomatik Qatar melalui pertemuan dan deklarasi solidaritas.  Perbedaan ini—militer versus diplomasi—mencerminkan konteks unik masing-masing negara, di mana Iran memilih konfrontasi langsung sementara Qatar mengandalkan aliansi regional dan dukungan global untuk menjaga kedaulatan.
Serangan Israel ke Iran: Pemicu Perang 12 Hari.
Konflik dimulai pada 13 Juni 2025, ketika Pasukan Pertahanan Israel (IDF) melancarkan serangan mendadak terhadap puluhan fasilitas nuklir, pangkalan militer, dan infrastruktur Iran. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa serangan ini bertujuan mencegah Iran memproduksi senjata nuklir dalam waktu singkat, dengan mengklaim bahwa Teheran telah lama mengancam kehancuran Israel. 
Operasi ini, yang dikenal sebagai “Rising Lion,” menargetkan situs-situs kunci seperti Fordow, Isfahan, dan Natanz, serta membunuh komandan militer senior dan ilmuwan nuklir Iran. 
Serangan tersebut menyebabkan kerusakan signifikan, meskipun Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menyatakan tidak ada peningkatan radiasi yang terdeteksi.  Presiden Iran Masoud Pezeshkian terluka ringan dalam salah satu serangan di Tehran, sementara setidaknya 1.060 orang tewas menurut otoritas Iran. 
Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei menuduh Israel bertujuan menggulingkan rezim, dan berjanji respons “keras.” 
Perang ini berlangsung 12 hari, dengan gencatan senjata efektif pada 24 Juni 2025, yang difasilitasi oleh Amerika Serikat.  Israel mengklaim telah menghancurkan sepertiga peluncur rudal Iran dan menunda program nuklir Teheran selama beberapa bulan.  Namun, konflik ini menandai pergeseran besar dalam perang regional, menggabungkan taktik konvensional dan tidak konvensional. 
Respons Iran: Serangan Rudal dan Drone sebagai Balasan.
Iran tidak tinggal diam. Segera setelah serangan awal Israel, Teheran meluncurkan ratusan rudal balistik dan drone ke wilayah Israel, menargetkan kota-kota seperti Tel Aviv, Haifa, dan Beersheva.  Pada 13 Juni saja, Iran menembakkan puluhan rudal, yang sebagian besar dicegat oleh sistem pertahanan udara Israel Iron Dome, tetapi beberapa mengenai target, menyebabkan kerusakan properti dan korban jiwa. 
Sepanjang perang, Iran meluncurkan sekitar 591 rudal dan 1.100 drone, yang 99% dicegat atau gagal mencapai perbatasan Israel.  Serangan ini menewaskan 28 orang di Israel dan melukai 3.431 lainnya, serta merusak lebih dari 2.300 rumah.  Iran awalnya berencana meluncurkan 1.000 rudal, tetapi serangan Israel sebelumnya menghancurkan banyak peluncur, membatasi kemampuan mereka. 
Strategi Iran mencakup serangan bertahap untuk menguras pertahanan Israel, meskipun proksi seperti Hizbullah dan Hamas telah melemah akibat konflik sebelumnya.  Respons militer ini mencerminkan doktrin Iran yang menggabungkan rudal balistik, drone, dan serangan proksi untuk membalas ancaman langsung. 
Serangan Israel ke Qatar: Pelanggaran Kedaulatan di Doha.
Pindah ke September 2025, Israel kembali beraksi dengan serangan udara di distrik Leqtaifiya, Doha, pada 9 September. Serangan ini menargetkan pemimpin Hamas yang sedang membahas proposal gencatan senjata Gaza yang didukung AS.  Lima anggota Hamas tewas, termasuk putra negosiator utama Khalil al-Hayya, serta seorang perwira keamanan Qatar dan warga sipil lainnya. 
Meskipun Israel mengklaim operasi “Summit of Fire” ini direncanakan berbulan-bulan, target utama selamat, membuat serangan ini dianggap gagal. 
Serangan ini melanggar ruang udara Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) dan kedaulatan Qatar, yang telah menjadi mediator kunci dalam negosiasi Gaza sejak 2012 atas permintaan AS.  Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman menyebutnya “terorisme negara” dan menjanjikan respons hukum. 
Dewan Keamanan PBB secara bulat mengutuk serangan ini, sementara AS menyatakan ketidakpuasan meskipun mendukung Israel secara umum. 
Respons Qatar: Pertemuan dan Kecaman Diplomatik.
Berbeda dengan Iran, Qatar memilih jalur diplomasi. Pada 15 September 2025, Doha menyelenggarakan KTT Luar Biasa Arab-Islam yang dihadiri lebih dari 50 pemimpin, termasuk dari Iran, Turki, Saudi Arabia, dan Pakistan. 
Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani membuka acara dengan menyerukan “langkah praktis dan tegas,” menyebut serangan itu “pengecut dan khianat.” 
Komuniké akhir mengutuk serangan Israel, menyerukan tinjauan hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Israel, serta memulai proses hukum internasional.  GCC berjanji mengaktifkan mekanisme pertahanan bersama, dengan pertemuan Komando Militer Bersatu dijadwalkan di Doha. 
Namun, tidak ada tindakan konkret seperti pemutusan hubungan atau sanksi ekonomi yang diumumkan, mencerminkan ketergantungan Teluk pada AS dan kekhawatiran eskalasi. 
Pemimpin seperti Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyerukan tekanan ekonomi, sementara Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi menyebutnya pelanggaran hukum internasional.  KTT ini memperkuat solidaritas, tetapi menyoroti keterbatasan kekuatan Arab dalam menghadapi Israel. 
Mengapa Respons Berbeda? Konteks Strategis.
Perbedaan respons Iran dan Qatar mencerminkan posisi geopolitik mereka. Iran, sebagai kekuatan revolusioner dengan arsenal rudal canggih, melihat serangan militer sebagai cara untuk mempertahankan kredibilitas dan mendeteksi ancaman nuklir. 
Qatar, sebagai mediator netral dengan basis militer AS terbesar di Timur Tengah (Al Udeid), mengandalkan diplomasi untuk menjaga stabilitas ekonomi dan hubungan dengan Barat.  Serangan di Doha merusak kepercayaan terhadap perlindungan AS, mendorong Teluk mencari mekanisme pertahanan baru. 
Kedua insiden ini memperburuk ketegangan regional, dengan Gaza yang masih berdarah (lebih dari 58.000 tewas) sebagai latar belakang.  Sementara Iran membalas dengan kekerasan, Qatar membuktikan bahwa diplomasi bisa menjadi senjata kuat, meskipun lambat. Di tengah ancaman eskalasi lebih lanjut, dunia menunggu apakah kesatuan Arab-Islam akan melahirkan aksi nyata atau hanya kata-kata.



