Reformasi kepolisian

Kepolisian di Negara Maju: Lembaga Sipil untuk Keamanan dan Ketertiban Masyarakat

Oleh :
MYR Agung Sidayu
Chairman yayasan pendidikan Indonesia
Special consultative status in ECOSOC
United Nations

Pendahuluan

Di berbagai negara maju, kepolisian bukanlah institusi militer, melainkan lembaga sipil yang memiliki peran sentral dalam menjaga keamanan, ketertiban, dan penegakan hukum di tengah masyarakat. Berbeda dengan militer yang berfokus pada pertahanan nasional dan operasi strategis, kepolisian di negara-negara seperti Inggris, Amerika Serikat, Jepang, dan banyak negara maju lainnya dirancang untuk melayani masyarakat secara langsung dengan pendekatan yang berorientasi pada hukum dan pelayanan publik.

Catatan ini akan membahas karakteristik utama kepolisian sebagai lembaga sipil di negara maju, mulai dari pemisahan fungsi dengan militer, prinsip pelayanan masyarakat, struktur dan pelatihan, hingga mekanisme akuntabilitas sipil. Untuk memberikan perspektif yang lebih luas, artikel ini juga akan membandingkan model tersebut dengan kepolisian di Indonesia, yang masih menghadapi tantangan transisi dari warisan militeristik, serta rencana reformasi terbaru yang diinisiasi oleh Presiden Prabowo Subianto pada September 2025.

Reformasi ini, khususnya tahap kedua, diharapkan menjadi warisan kepemimpinan Prabowo yang akan dikenang oleh sejarah, didorong oleh demonstrasi September 2025 yang membawa manfaat berkelanjutan, sebagaimana diungkapkan oleh pepatah -nothings happen for nothing- .

Reformasi ini menekankan transformasi Polri menuju kepolisian yang berorientasi kerakyatan, dengan tetap mempertahankan keberadaan institusi saat ini, tetapi membuka peluang kepemimpinan untuk kandidat berkualifikasi tinggi, baik alumni Akademi Kepolisian (Akpol) maupun non-Akpol. Salah satu contoh kandidat potensial adalah Komjen Rudy Heriyanto Adi Nugroho, mantan Kapolda Banten yang dikenal dengan pendekatan humanisnya, yang kini menjabat sebagai Sekjen KKP.

Pemisahan Fungsi Kepolisian dan Militer

Salah satu ciri utama kepolisian di negara maju adalah pemisahan yang jelas antara fungsi kepolisian dan militer. Kepolisian beroperasi sebagai entitas sipil yang bertugas menangani urusan domestik, seperti pencegahan kejahatan, penegakan hukum, dan perlindungan masyarakat. Sebaliknya, militer bertugas untuk menghadapi ancaman eksternal atau keadaan darurat nasional, seperti perang atau konflik bersenjata. Pemisahan ini penting untuk menjaga keseimbangan antara keamanan publik dan perlindungan hak asasi manusia.

Di Inggris, misalnya, kepolisian diatur di bawah Home Office (Kementerian Dalam Negeri), bukan kementerian pertahanan. Polisi di sana, yang dikenal sebagai “bobbies,” beroperasi dengan pendekatan yang menekankan kerja sama dengan masyarakat. Di Amerika Serikat, kepolisian di tingkat lokal (seperti kepolisian kota atau county) bekerja di bawah pemerintahan sipil setempat, seperti wali kota atau dewan kota. Jepang juga memiliki sistem serupa, di mana Kepolisian Nasional Jepang (National Police Agency) mengawasi kepolisian prefektur yang berfokus pada keamanan domestik.

Pemisahan ini bukan hanya soal struktur organisasi, tetapi juga filosofi operasional. Kepolisian di negara maju dirancang untuk dekat dengan masyarakat, bukan sebagai kekuatan penekan seperti yang kadang diasosiasikan dengan militer. Hal ini memungkinkan polisi untuk membangun hubungan yang lebih harmonis dengan warga.

Prinsip Pelayanan Masyarakat: Policing by Consent

Di banyak negara maju, kepolisian mengadopsi prinsip -policing by consent-, yang pertama kali dikembangkan oleh Sir Robert Peel di Inggris pada abad ke-19. Prinsip ini menegaskan bahwa otoritas polisi berasal dari kepercayaan dan dukungan masyarakat, bukan dari kekuatan atau intimidasi. Dengan kata lain, polisi harus bekerja bersama masyarakat, bukan melawan mereka.

Contoh nyata dari pendekatan ini terlihat di Inggris, di mana sebagian besar polisi tidak membawa senjata api dalam tugas rutin mereka. Keputusan ini diambil untuk mengurangi kesan konfrontatif dan mempromosikan pendekatan yang lebih humanis dalam penegakan hukum. Polisi di Inggris dilatih untuk menggunakan komunikasi dan negosiasi sebagai alat utama dalam menangani situasi, mulai dari sengketa kecil hingga kerusuhan publik.

Pendekatan serupa juga diterapkan di negara-negara seperti Selandia Baru dan beberapa negara Skandinavia. Di Norwegia, misalnya, polisi hanya membawa senjata api dalam situasi tertentu dan dengan izin khusus, menekankan pentingnya de-eskalasi konflik. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan kepercayaan publik terhadap kepolisian, tetapi juga mengurangi insiden kekerasan yang melibatkan polisi.

Struktur dan Pelatihan Kepolisian

Kepolisian di negara maju memiliki struktur organisasi yang dirancang untuk mendukung tugas-tugas sipil. Polisi biasanya berada di bawah otoritas sipil, seperti kementerian dalam negeri atau pemerintah daerah, bukan kementerian pertahanan. Struktur ini memastikan bahwa kepolisian tetap fokus pada kebutuhan masyarakat dan tidak terlibat dalam operasi militer.

Pelatihan polisi di negara maju juga menekankan keterampilan sipil, seperti mediasi konflik, investigasi kriminal, manajemen kerumunan, dan penegakan hukum lalu lintas. Di Jepang, misalnya, calon polisi menjalani pelatihan intensif yang mencakup hukum, etika, dan keterampilan komunikasi, selain teknik dasar penegakan hukum. Di Amerika Serikat, akademi kepolisian di setiap negara bagian mengajarkan prosedur penanganan kejahatan, penggunaan kekuatan yang proporsional, dan pentingnya memahami keragaman budaya dalam masyarakat.

Berbeda dengan pelatihan militer yang lebih berfokus pada taktik tempur dan disiplin ketat, pelatihan kepolisian menekankan fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi dengan situasi sipil yang kompleks. Meski demikian, beberapa unit kepolisian khusus, seperti SWAT (Special Weapons and Tactics) di Amerika Serikat atau GIGN (Groupe d’Intervention de la Gendarmerie Nationale) di Prancis, memang dilatih dengan taktik paramiliter untuk menangani ancaman berat seperti terorisme atau kejahatan bersenjata. Namun, unit-unit ini tetap berada di bawah komando sipil dan hanya digunakan dalam situasi yang benar-benar memerlukan intervensi khusus.

Akuntabilitas Sipil: Transparansi dan Pengawasan

Salah satu pilar utama kepolisian di negara maju adalah akuntabilitas kepada masyarakat. Untuk memastikan bahwa polisi bertindak sesuai hukum dan etika, berbagai mekanisme pengawasan sipil diterapkan. Di Inggris, misalnya, terdapat Independent Office for Police Conduct (IOPC) yang menangani keluhan masyarakat terhadap polisi dan menyelidiki kasus-kasus pelanggaran. Di Amerika Serikat, banyak kota memiliki dewan pengawas kepolisian (civilian oversight boards) yang memantau kinerja polisi dan memastikan transparansi.

Selain itu, badan anti-korupsi atau ombudsman independen sering kali berperan dalam mengawasi integritas kepolisian. Di negara-negara Nordik, seperti Swedia, polisi tunduk pada pengawasan ketat oleh otoritas sipil untuk mencegah penyalahgunaan wewenang. Mekanisme ini berbeda dengan militer, yang cenderung memiliki sistem pengawasan internal yang lebih tertutup dan berbasis pada rantai komando.

Akuntabilitas sipil ini penting untuk menjaga kepercayaan publik. Ketika polisi melakukan kesalahan atau pelanggaran, proses investigasi yang transparan dan independen membantu memastikan bahwa keadilan ditegakkan, baik bagi masyarakat maupun anggota kepolisian itu sendiri.

Pengecualian: Unit Kepolisian Khusus

Meskipun kepolisian di negara maju pada umumnya bersifat sipil, ada pengecualian dalam bentuk unit kepolisian khusus yang dilatih dengan taktik paramiliter. Unit seperti SWAT di Amerika Serikat, GIGN di Prancis, atau SEK (Spezialeinsatzkommando) di Jerman dirancang untuk menangani situasi ekstrem, seperti ancaman teroris, penyanderaan, atau kejahatan bersenjata berat. Unit-unit ini sering kali dilengkapi dengan peralatan dan pelatihan yang mirip dengan militer, termasuk penggunaan senjata api berat dan taktik operasi khusus.

Namun, penting untuk dicatat bahwa unit-unit ini tetap berada di bawah komando sipil dan diatur oleh hukum yang sama yang mengatur kepolisian pada umumnya. Penggunaan unit khusus ini biasanya terbatas pada situasi yang benar-benar memerlukan intervensi tingkat tinggi, dan mereka tidak digunakan untuk tugas-tugas kepolisian rutin.

Perbandingan dengan Kepolisian di Indonesia: Tantangan Transisi dan Reformasi

Sementara negara maju telah mapan dalam menjadikan kepolisian sebagai lembaga sipil yang mandiri, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) masih dalam proses transisi pasca-reformasi 1998. Secara historis, Polri merupakan bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) hingga dipisahkan melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Struktur Polri bersifat sentralistik, dipimpin oleh Kapolri yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, dengan hierarki dari Markas Besar (Mabes) Polri hingga Polres/Polsek di tingkat daerah. Ini berbeda dengan model desentralisasi di AS, di mana kepolisian lokal otonom dan dipilih oleh masyarakat setempat, atau di Inggris yang dikelola oleh otoritas sipil daerah.

Dalam hal pemisahan fungsi, Polri secara formal adalah lembaga sipil di bawah Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, bukan Kementerian Pertahanan. Namun, warisan militeristik masih terasa dalam pelatihan dan budaya organisasi, di mana pendekatan sering kali lebih konfrontatif daripada berbasis konsensus seperti -policing by consent – di Inggris.

Polisi Indonesia wajib membawa senjata api dalam tugas rutin, yang kontras dengan praktik non-bersenjata di banyak negara maju, dan pelatihan lebih menekankan disiplin paramiliter daripada mediasi konflik.Akuntabilitas juga menjadi tantangan; meski ada Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk pengawasan, independensinya sering dipertanyakan, berbeda dengan badan independen seperti IOPC di Inggris yang lebih kuat dalam menangani keluhan masyarakat.

Tantangan ini semakin terlihat dalam insiden kekerasan selama demonstrasi, seperti yang terjadi pada akhir Agustus 2025, di mana penanganan aparat menuai kritik luas atas dugaan pelanggaran HAM. Menurut data koalisi masyarakat sipil, terdapat 602 peristiwa kekerasan oleh anggota Polri sepanjang Juli-Juni 2025, menunjukkan urgensi reformasi untuk meningkatkan legitimasi dan outcome penegakan hukum, di mana Indonesia masih tertinggal dari negara maju seperti Norwegia atau Jepang dengan skor tinggi dalam indeks World Internal Security and Police Index (WISPI).

Rencana Reformasi Kepolisian oleh Presiden Prabowo Subianto: Warisan Kepemimpinan Bersejarah

Pada September 2025, Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah konkret untuk mereformasi Polri sebagai respons terhadap tuntutan masyarakat sipil dan gelombang demonstrasi Agustus 2025. Demonstrasi ini, yang mencerminkan pepatah nothings happen for nothing, membawa manfaat berkelanjutan dengan mendorong pemerintah untuk mempercepat reformasi kepolisian.

Pada 11 September 2025, dalam pertemuan dengan Gerakan Nurani Bangsa (GNB) yang melibatkan tokoh seperti Sinta Nuriyah, Quraish Shihab, dan Laode Syarif, Prabowo menyetujui pembentukan Komite Reformasi Kepolisian melalui Keputusan Presiden (Keppres).Komite ini bertugas melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kelembagaan Polri, termasuk kajian ulang tugas, wewenang, dan ruang lingkup berdasarkan UU Kepolisian 2002, dengan target revisi undang-undang untuk mengurangi kewenangan super seperti penangkapan tanpa check and balance.

Menurut Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, reformasi ini bertujuan memperbaiki aspek yang perlu dievaluasi, sambil mempertahankan cinta terhadap institusi Polri, dan melibatkan berbagai pihak termasuk tokoh masyarakat.Prabowo juga menunjuk Jenderal Ahmad Dofiri sebagai Penasihat Khusus Presiden bidang Keamanan, Ketertiban Masyarakat, dan Reformasi Kepolisian, sementara Kapolri Listyo Sigit Prabowo membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri internal dengan 52 perwira tinggi pada 17 September 2025, selaras dengan Grand Strategy Polri 2025–2045.

Reformasi ini, khususnya tahap kedua yang direncanakan meliputi penguatan akuntabilitas, dan pengembangan budaya pelayanan masyarakat, diharapkan menjadi warisan kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto yang akan dikenang oleh sejarah. Tahap kedua ini akan fokus pada transformasi Polri menuju kepolisian yang berorientasi kerakyatan, dengan tetap mempertahankan keberadaan institusi saat ini sebagai pilar keamanan nasional, tetapi dengan pendekatan yang lebih humanis dan inklusif.

Demonstrasi Agustus 2025 menjadi katalisator penting, menunjukkan bahwa tekanan masyarakat sipil dapat menghasilkan perubahan positif yang berkelanjutan, sebagaimana diungkapkan oleh pepatah -nothings happen for nothing- . Reformasi ini akan memperkuat legitimasi Polri dengan menanamkan prinsip-prinsip seperti -policing by consent-, yang telah terbukti efektif di negara maju.

Rencana ini disambut baik oleh DPR dan lembaga seperti Lemkapi, yang melihatnya sebagai peluang untuk meningkatkan profesionalisme dan akuntabilitas, mirip model negara maju. Namun, koalisi sipil seperti YLBHI dan ICJR mendesak agar komite bersifat independen, berani, dan menghindari gimmick politik, dengan fokus pada desentralisasi, larangan rangkap jabatan, dan investigasi independen atas kekerasan demonstrasi.

Pelantikan komite direncanakan segera, dengan pengumuman anggota pekan itu, menandai komitmen Prabowo untuk “gayung bersambut” dengan aspirasi rakyat. Yayasan pendidikan Indonesia sangat menghargai dan mendukung jika Prof.Machfud MD masuk dalam komite.

Kemungkinan Pengangkatan Kapolri Non-Alumni Akpol: Langkah Inovatif Menuju Kepolisian yang Merakyat

Sebagai bagian dari reformasi menuju kepolisian yang berorientasi kerakyatan, pengangkatan Kapolri dari kalangan non-alumni Akpol menjadi salah satu ide inovatif yang mencuat pada 2025. Langkah ini dianggap dapat membawa perspektif baru yang lebih inklusif dan humanis, memperkuat citra Polri sebagai mitra masyarakat.

Di negara maju, kepemimpinan kepolisian sering kali berasal dari latar belakang sipil atau akademik yang beragam, bukan hanya jalur akademi kepolisian. Di Inggris, misalnya, kepala kepolisian seperti Commissioner of the Metropolitan Police dapat berasal dari luar akademi kepolisian tradisional, asalkan memiliki kualifikasi dan pengalaman yang memadai. Pendekatan ini memungkinkan adanya kepemimpinan yang lebih fleksibel dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Di Indonesia, tradisi alumni Akpol sebagai Kapolri telah menciptakan budaya internal yang kuat, tetapi juga dikritik karena cenderung mempertahankan pendekatan militeristik dan kurang membuka ruang untuk inovasi. Dengan membuka peluang untuk kandidat non-Akpol yang well qualified, Polri dapat mengadopsi model kepemimpinan yang lebih beragam, yang menitikberatkan pada profesionalisme, integritas, dan pendekatan humanis. Pengamat seperti Selamat Ginting dari Universitas Nasional (UNAS) menyoroti peluang ini, terutama setelah gelombang pensiun massal alumni Akpol 1989-1990, yang membuka bursa calon Kapolri untuk figur baru.

Salah satu kandidat potensial adalah Komjen Rudy Heriyanto Adi Nugroho, mantan Kapolda Banten (2020-2023) yang kini menjabat Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sejak Maret 2025. Rudy, lulusan Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila) dan Sekolah Perwira Polri angkatan 1993 (bukan Akpol), dikenal sebagai intelektual dengan gelar Profesor Hukum dari Unila dan pengalaman sebagai dosen tamu. Kariernya mencakup jabatan strategis seperti Kapolres Metro Jakarta Barat (2015-2016), Dirreskrimum Polda Metro Jaya (2016-2017), dan Dirtipideksus Bareskrim Polri (2017-2018), di mana ia berhasil mengungkap kasus besar seperti mafia beras dan penipuan surat tanah di Banten.

Rudy sering dipuji atas talenta humanisnya: ramah, dekat dengan media dan masyarakat, serta low-profile dalam berinteraksi dengan tokoh agama dan ulama saat menjabat Kapolda Banten, ia membangun Balai Wartawan di Polrestra Jakarta Barat untuk memfasilitasi transparansi, dan terlibat dalam penanganan kasus sensitif seperti penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan sebagai ketua tim kuasa hukum.

Nama Rudy mencuat dalam bursa calon Kapolri 2025, terutama karena rekam jejaknya yang menekankan pendekatan non-konfrontatif dan integritas profesional, yang selaras dengan tuntutan reformasi untuk Polri yang lebih dekat dengan rakyat. Pengangkatan figur seperti Rudy bisa menjadi katalisator perubahan, membawa perspektif akademik dan humanis ke pimpinan Polri, sehingga institusi ini terlihat lebih sebagai mitra masyarakat daripada entitas elit.

Namun, pengangkatan Kapolri non-Akpol juga menghadapi tantangan, seperti resistensi dari internal Polri yang masih kuat dengan budaya Akpol dan potensi persepsi bahwa kandidat non-Akpol kurang memahami dinamika internal kepolisian. Untuk mengatasinya, kandidat non-Akpol harus benar-benar well qualified, dengan rekam jejak yang kuat dalam penegakan hukum, kepemimpinan, dan hubungan masyarakat, seperti yang ditunjukkan oleh Rudy Heriyanto. Langkah ini akan memperkuat legitimasi reformasi Polri sebagai institusi yang tetap kokoh, tetapi lebih terbuka dan responsif terhadap aspirasi rakyat.

Tantangan dan Kritik

Meskipun sistem kepolisian sipil di negara maju memiliki banyak keunggulan, mereka tidak luput dari kritik. Di Amerika Serikat, misalnya, isu seperti kekerasan polisi, diskriminasi rasial, dan penggunaan kekuatan berlebihan sering menjadi sorotan. Gerakan seperti Black Lives Matter telah mendorong reformasi kepolisian untuk meningkatkan akuntabilitas dan mengurangi ketegangan antara polisi dan masyarakat. Di negara lain, tantangan seperti korupsi atau kurangnya sumber daya juga dapat melemahkan efektivitas kepolisian.

Di Indonesia, reformasi yang di gagas Presiden Prabowo diharapkan mengatasi kritik serupa, termasuk brutalitas aparat dan kurangnya transparansi, untuk mendekatkan Polri ke model sipil negara maju. Pengangkatan Kapolri non-Akpol yang well qualified menjadi salah satu langkah strategis untuk mempercepat transformasi ini, tetapi keberhasilannya bergantung pada implementasi yang konsisten, dukungan internal Polri, dan partisipasi masyarakat.

Demonstrasi Agustus 2025 telah menunjukkan bahwa tekanan masyarakat sipil dapat menghasilkan perubahan positif, dan reformasi tahap kedua di bawah Presiden Prabowo diharapkan menjadi tonggak sejarah dalam membangun Polri yang lebih humanis dan akuntabel.

Kesimpulan

Kepolisian di negara maju menunjukkan bagaimana lembaga sipil dapat efektif menjaga keamanan masyarakat tanpa mengandalkan pendekatan militeristis. Melalui pemisahan fungsi dengan militer, prinsip policing by consent, pelatihan yang berfokus pada tugas sipil, dan mekanisme akuntabilitas yang kuat, kepolisian di negara-negara ini berperan sebagai mitra masyarakat, bukan kekuatan penindas.

Di Indonesia, meski telah dipisahkan dari militer, Polri masih menghadapi tantangan sentralisasi dan warisan paramiliter, tetapi rencana reformasi Presiden Prabowo Subianto pada 2025—termasuk pembentukan Komite Reformasi Kepolisian dan pembukaan peluang kepemimpinan untuk kandidat well qualified baik dari Akpol maupun non-Akpol—memberi harapan baru untuk transformasi menuju kepolisian yang berorientasi kerakyatan.

Figur seperti Komjen Rudy Heriyanto Adi Nugroho, dengan pendekatan humanis dan rekam jejak profesional, menjadi contoh potensial untuk memimpin Polri ke arah yang lebih inklusif dan responsif. Didorong oleh demonstrasi Agustus 2025, yang membuktikan bahwa nothings happen for nothing, reformasi tahap kedua ini diharapkan menjadi warisan kepemimpinan Prabowo yang akan dikenang sejarah, menjadikan Polri sebagai institusi yang kokoh namun dekat dengan rakyat.
———
Sumber

  1. Liputan6.com, “Prabowo Setuju Bentuk Komite Reformasi Polri, Tokoh GNB: Ini Keren Sekali,” 11 September 2025, https://www.liputan6.com/news/read/5721358/prabowo-setuju-bentuk-komite-reformasi-polri-tokoh-gnb-ini-keren-sekali.
  2. Kompas.com, “Prabowo Setuju Bentuk Komite Reformasi Polri, Laode Syarif: Ini Keren Sekali,” 11 September 2025, https://nasional.kompas.com/read/2025/09/11/21053301/prabowo-setuju-bentuk-komite-reformasi-polri-laode-syarif-ini-keren-sekali.
  3. Antara News, “Mensesneg: Reformasi Polri untuk Perbaikan, Bukan Membenci Polisi,” 11 September 2025, https://www.antaranews.com/berita/4366147/mensesneg-reformasi-polri-untuk-perbaikan-bukan-membenci-polisi.
  4. DPR.go.id, “DPR Dukung Reformasi Polri yang Digagas Prabowo,” 12 September 2025, https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/51234/t/DPR+Dukung+Reformasi+Polri+yang+Digagas+Prabowo.
  5. CNN Indonesia, “Prabowo Bentuk Komite Reformasi Polri, Apa Tugasnya?,” 11 September 2025, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250911210841-20-1144689/prabowo-bentuk-komite-reformasi-polri-apa-tugasnya.
  6. Tempo.co, “Komite Reformasi Polri Akan Tinjau UU Kepolisian,” 12 September 2025, https://nasional.tempo.co/read/1913461/komite-reformasi-polri-akan-tinjau-uu-kepolisian.
  7. Detik.com, “Catatan Koalisi Sipil: 602 Peristiwa Kekerasan oleh Polisi Terjadi dalam Setahun,” 10 September 2025, https://news.detik.com/berita/d-7632145/catatan-koalisi-sipil-602-peristiwa-kekerasan-oleh-polisi-terjadi-dalam-setahun.
  8. Kompas.com, “Bursa Calon Kapolri 2025, Nama-nama Non-Akpol Mencuat,” 15 September 2025, https://nasional.kompas.com/read/2025/09/15/08000041/bursa-calon-kapolri-2025-nama-nama-non-akpol-mencuat.
  9. Antara News, “Kapolri Bentuk Tim Transformasi Reformasi Polri,” 17 September 2025, https://www.antaranews.com/berita/4371234/kapolri-bentuk-tim-transformasi-reformasi-polri.
  10. Hukumonline.com, “YLBHI dan ICJR: Komite Reformasi Polri Harus Independen dan Berani,” 12 September 2025, https://www.hukumonline.com/berita/a/ylbhi-dan-icjr–komite-reformasi-polri-harus-independen-dan-berani-lt66f7b8d7e8b9c.
  11. Republika.co.id, “Prabowo: Reformasi Polri Adalah Gayung Bersambut dengan Aspirasi Rakyat,” 11 September 2025, https://www.republika.co.id/berita/sj4k7x484/prabowo-reformasi-polri-adalah-gayung-bersambut-dengan-aspirasi-rakyat.
  12. Tribunnews.com, “Demo Mahasiswa Tolak UU Pilkada Berujung Bentrok dengan Polisi,” 30 Agustus 2025, https://www.tribunnews.com/nasional/2025/08/30/demo-mahasiswa-tolak-uu-pilkada-berujung-bentrok-dengan-polisi.
  13. Polri.go.id, “Grand Strategy Polri 2025–2045: Transformasi Menuju Polri yang Presisi,” 17 September 2025, https://www.polri.go.id/berita/20250917/grand-strategy-polri-2025-2045-transformasi-menuju-polri-yang-presisi.
  14. Lemkapi.or.id, “Lemkapi Dukung Reformasi Polri untuk Profesionalisme dan Akuntabilitas,” 12 September 2025, https://www.lemkapi.or.id/berita/dukung-reformasi-polri-untuk-profesionalisme-dan-akuntabilitas.
  15. UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/43130/uu-no-2-tahun-2002.
  16. Home Office UK, “Police Powers and Procedures: England and Wales,” 2023, https://www.gov.uk/government/publications/police-powers-and-procedures-england-and-wales.
  17. Kompas.com, “Profil Rudy Heriyanto, Mantan Kapolda Banten yang Kini Jadi Sekjen KKP,” 10 Maret 2025, https://nasional.kompas.com/read/2025/03/10/09000041/profil-rudy-heriyanto-mantan-kapolda-banten-yang-kini-jadi-sekjen-kkp.
  18. Detik.com, “Rudy Heriyanto, Polisi Humanis dalam Bursa Calon Kapolri 2025,” 16 September 2025, https://news.detik.com/berita/d-7643212/rudy-heriyanto-polisi-humanis-dalam-bursa-calon-kapolri-2025.
  19. World Internal Security and Police Index (WISPI), “Indonesia Police Performance Report 2025,” International Police Science Association, 2025, https://www.ipsa-police.org/wispi-2025.
  20. https://ypi-wiratatabuana.org/index.php/2025/09/22/kapolri-non-akpol/ – Mungkinkah Kapolri Non-Akpol Sumbul Reformasi Kepolisian? –

Author: admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *