Reshuffle Kabinet Ketiga Prabowo: Strategi Jitu atau Tanda Bahaya?
Oleh:
MYR Agung Sidayu
Chairman of Yayasan Pendidikan Indonesia
Special consultative status in ECOSOC
United Nations.
Pendahuluan.
Presiden #PrabowoSubianto kembali mengguncang pemerintahan dengan reshuffle kabinet ketiga dalam waktu kurang dari setahun sejak Kabinet Merah Putih dilantik pada Oktober 2024. Pelantikan pada Rabu (17/9/2025) ini mengganti satu menteri, dua wakil menteri, dan dua kepala badan, termasuk pengangkatan Rohmat Marzuki sebagai Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dari #PartaiGerindra.
Dengan total 123 jabatan di kabinet yang kini menjadi salah satu yang terbesar sejak Reformasi, pertanyaan besar muncul: apakah ini langkah strategis untuk memperkuat pemerintahan, atau justru alarm atas ketidakstabilan internal?
Tiga Reshuffle dalam Setahun: Dinamika atau Kekacauan? .
Sejak awal kepemimpinannya, Prabowo menunjukkan pendekatan dinamis dalam mengelola kabinet. Reshuffle pertama pada Februari 2025 dipicu oleh mundurnya Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Satryo Brodjonegoro akibat kontroversi kinerja.
Disusul reshuffle kedua pada 8 September 2025 yang lebih masif, mengganti lima menteri, termasuk tokoh kunci seperti Sri Mulyani (Menteri Keuangan) dan Budi Gunawan (Menko Polhukam). Kini, reshuffle ketiga datang hanya sembilan hari setelahnya, dengan pengangkatan Erick Thohir sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga serta pergantian kader PDI-P Hendrar Prihadi dari Kepala LKPP.
Frekuensi tinggi ini mengingatkan pada gaya kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi), yang juga kerap melakukan reshuffle di akhir masa jabatannya. Namun, tiga perombakan dalam 11 bulan memicu spekulasi: apakah ini respons cepat terhadap tantangan, atau gejala masalah struktural yang lebih dalam?
Perspektif Strategis: Konsolidasi dan Respons Krisis .
Bagi pendukungnya, reshuffle ini adalah langkah cerdas untuk menjaga momentum pemerintahan di tengah tantangan global dan domestik. Krisis pangan, ketegangan geopolitik di Timur Tengah, dan ambisi Indonesia Emas 2045 menuntut tim yang solid dan loyal. Pengangkatan kader Gerindra, seperti Rohmat Marzuki dan Angga Raka Prabowo, memperkuat koalisi inti sekaligus menyesuaikan komposisi kabinet dengan kebutuhan saat ini.
Langkah ini juga dianggap responsif terhadap isu domestik. Penggantian Budi Gunawan terkait tudingan kasus judi online dan pemecatan Imammanuel Ebenezer akibat korupsi menunjukkan komitmen anti-korupsi. Pengamat politik Selamat Ginting menyebut reshuffle ini sebagai “konsolidasi kekuasaan” menjelang Sidang PBB, di mana Prabowo akan tampil di panggung global. Di media sosial, netizen memuji langkah ini sebagai upaya “membersihkan Istana dari pengkhianat NKRI”.
Dari sisi ekonomi, penggantian Sri Mulyani dianggap membuka jalan bagi reformasi keuangan untuk mendukung program unggulan seperti makan siang gratis. Komposisi partai yang kini didominasi Gerindra (19 kursi) juga menunjukkan strategi politik jangka panjang untuk stabilitas koalisi.
Sinyal Bahaya: Ketidakstabilan dan Risiko Politik .
Namun, tidak sedikit yang melihat reshuffle ini sebagai “alarm merah”. Frekuensi tinggi perombakan menandakan ketidakstabilan, mirip kritik terhadap reshuffle Jokowi yang dianggap lebih politis ketimbang urgen.
Pengamat seperti mantan Danjen Kopassus Soenarko mempertanyakan mengapa Kapolri Listyo Sigit Prabowo, yang dianggap “titipan Jokowi”, belum tersentuh meski menuai kontroversi. Ini menimbulkan dilema: mencopot Listyo berisiko merenggangkan hubungan dengan Jokowi, tetapi membiarkannya bisa dianggap sebagai “musuh dalam selimut”.
Reaksi di media sosial juga mencerminkan ketegangan. Relawan Sedulur Jokowi menyuarakan kekecewaan atas “pengkhianatan” Prabowo yang tak melibatkan mereka, meski berjasa di Pilpres 2024. Hoaks seperti “Sri Mulyani mengadu ke Jokowi” turut memanaskan suasana. Kabinet raksasa dengan 123 jabatan juga dikhawatirkan membebani anggaran dan menyulitkan koordinasi, apalagi dengan reshuffle berulang yang berpotensi mengganggu kebijakan jangka panjang.
Tantangan Menuju Pemerintahan Solid .
Reshuffle ketiga ini mencerminkan ambisi besar Prabowo untuk membentuk pemerintahan yang kuat, namun juga menunjukkan kerapuhan transisi. Sebagai langkah strategis, reshuffle memperkuat koalisi dan merespons krisis dengan cepat. Namun, sebagai alarm, ia mengingatkan bahwa stabilitas pemerintahan tidak hanya soal pergantian orang, melainkan membangun kepercayaan publik dan kesinambungan kebijakan.
Yayasan Pendidikan Indonesia memahami bahwa reshuffle adalah hak prerogatif Presiden, dan percaya bahwa semua langkah yang diambil oleh Presiden Prabowo bertujuan untuk mewujudkan keberhasilan kepemimpinannya yang berorientasi kerakyatan.
Kami yakin perombakan ini bukan semata-mata untuk mengamankan posisi politik atau memperkecil pengaruh mantan Presiden Joko Widodo, melainkan upaya sungguh-sungguh untuk membentuk tim yang mampu mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
Dengan agenda global seperti Sidang PBB dan Sidang Kabinet mendatang, Prabowo memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa reshuffle ini bukan sekadar “kocok ulang”, melainkan langkah menuju pemerintahan yang lebih solid dan berpihak pada rakyat.
Publik menanti hasil nyata—bukan drama politik. Akankah reshuffle keempat datang lebih cepat? Hanya waktu yang akan menjawab.



